Spirit Sekolah Kejujuran di Serambi Madinah

PERTEMUAN itu terasa tegang. Adu argumen berlangsung alot. Septian H. Pomalingo menghela Slot Via Qris napas, mencari akal agar mudah diterima. Apalagi orang yang ia hadapi berumur lebih tua dari dirinya.

“Pak guru, ini kan pemberian,” kata Iis berpendapat.

Ia secara terbuka menolak aturan larangan menerima hadiah atau gratifikasi. Ia berargumen, pemberian dari orangtua murid, “Ini rezeki, hak saya—hak sebagai guru!” katanya.

Iis adalah seorang wali kelas di Sekolah Dasar Islam Terpadu Az-Zahra di Kota Gorontalo, Gorontalo. Sudah menjadi “budaya”, ia acapkali mendapatkan hadiah-hadiah dari orangtua siswa. Maka, kala Septian membuat perubahan itu, ia merasa dongkol.

“Bukankah dalam Islam saling berbagi hadiah itu dianjurkan? Tahabu tahaddu…” Iis menguatkan argumennya.

Sebagai kepala SD IT Az-Zahra, Septian paham apa yang disampaikan itu sebuah anjuran dalam Islam sesuai sabda Nabi Muhammad: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.”

Namun, bukan itu yang disoal. Ia tetap menjelaskan apa yang diterima Iis dan guru lain bukanlah “hak guru”. Jika orangtua ingin memberikan hadiah, katanya, seluruh guru dan tenaga pendidik di yayasan, juga harus mendapatkan yang sama.

“Kalau tidak bisa, berarti orangtua tidak diperkenankan untuk memberikan sesuatu kepada guru,” tegas Septian kala itu.

Perdebatan itu terjadi pada tahun kedua Septian sebagai kepala sekolah. Apakah perdebatan itu selesai? Tidak. Iis masih berpendirian: hadiah itu hak dan dibenarkan agama. Di sisi lain, Septian malah memilih Iis sebagai guru “coaching” pendidikan antikorupsi (PAK).

Sejak kejadian pada 2020 itu, Septian kian mempelajari seluk-beluk aturan gratifikasi. Termasuk, ia menerima sejumlah materi terkait tata kelola ekosistem yang berintegritas dari KPK.

Titik balik itu terjadi setelah empat tahun kemudian. Medio 2024, Az-Zahra terpilih sebagai peserta untuk mengikuti Anti-Corruption Academy yang diselenggarakan oleh Direktorat Jejaring Pendidikan KPK. Bersama delapan sekolah lain dari seluruh Indonesia, selama empat hari (24-28 Juni) di Gedung ACLC KPK, mereka menerima pembekalan materi pendidikan antikorupsi.

ACA merupakan program apresiasi sekaligus pembekalan dari KPK untuk sekolah dan madrasah di Indonesia yang melaporkan data implementasi PAK melalui platform JAGA.id yang dikelola KPK dan sistem EMIS (education management information system) Kementerian Agama.

Septian mengajak serta Iis ke Jakarta. Ada yang menarik selama kelas itu. Saat menjelaskan praktik pendidikan antikorupsi, “Saya punya tantangan…” katanya. Penjelasannya terpotong. Lalu, Iis berdiri menyambung Septian, “Jujur, tantangannya itu saya,” ujarnya. Akhirnya, Iis berceritalah sendiri sekaligus bertanya mengapa guru dilarang menerima hadiah-hadiah dari orangtua siswa.

Mendapatkan jawaban dari KPK, pendirian lama yang selama ini dipegangnya pun rontok. Setelah ACA itu, kepada Septian ia bilang: “Pak guru, saya salah ya…” kata Iis tersenyum. “Sekarang tinggal tanggung jawab ibu untuk meneruskan yang benar,” jawab Septian.

ACA memberikan pandangan baru bagi Iis. Dari awalnya menentang pelarangan gratifikasi, justru ia kini menjadi pribadi paling getol mendorong kebijakan itu.

“Awalnya saya sangat sedih ketika [hadiah-hadiah] disetop,” cerita Iis kepada ACLC KPK. “Bagaimana tidak sedih, karena itu bentuk kepedulian wali murid kepada kami selama menjadi wali kelas.”

“Apalagi gaji kami kan terbilang di bawah ‘standar’. Kalau ada wali murid yang kasih Rp100 ribu saja, itu sangat berarti bagi kami.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.